Saya setuju dengan pendapat yang
menyatakan, tidak akan pernah ada krisis ekonomi yang berulang dan sama persis
kejadiannya. Setiap krisis pasti memiliki karakteristik yang khas dan unik.
Misalnya, depresi ekonomi dunia tahun 1930-an, pasti sulit dibandingkan dengan
krisis finansial 2008, baik dari sisi kausalitas, besaran, maupun implikasinya.
Meski demikian, kita tetap bisa
mempelajari (lesson learned) krisis-krisis pada masa lalu sebagai bekal untuk
menghadapi krisis terkini dan antisipasi pada masa datang. Masih banyak hal
yang tetap relevan meski krisis sebelumnya terjadi jauh di belakang, pada masa
yang berbeda, dengan setting dan konteks berbeda. Itu tak menghalangi kita
untuk mempelajari, membandingkan, dan menentukan langkah-langkah yang
seyogianya ditempuh.
Ekuilibrium baru rupiah
Merosotnya rupiah yang kemarin
menembus Rp 11.000 per dollar AS (4/11/ 2008), mau tak mau membangkitkan
ingatan kita pada kenangan buruk krisis 1998. Kini orang mulai bertanya-tanya,
akankah kita bakal mengalami deja vu alias mengulang pengalaman 1998? Apakah
rupiah bakal terus terpuruk hingga level seperti dulu, misalnya Rp 15.000 per
dollar AS?
Hal paling utama yang membedakan
krisis ekonomi 2008 dengan 1998 adalah faktor politik. Pada tahun 1998 krisis
ekonomi bercampur kepanikan politik luar biasa saat rezim Soeharto hendak
tumbang. Begitu sulitnya merobohkan bangunan rezim Soeharto sehingga harus
disertai pengorbanan besar berupa kekacauan (chaos), yang mengakibatkan pemilik
modal dan investor kabur dari Indonesia.
Pelarian modal besar-besaran (flight
for safety) karena kepanikan politik ini praktis lebih dahsyat daripada
pelarian modal yang dipicu oleh pertimbangan ekonomi semata (flight for
quality).
Karena itu, rupiah merosot amat
drastis dari level semula Rp 2.300 per dollar AS (pertengahan 1997) menjadi
level terburuk Rp 17.000 per dollar AS (Januari 1998). Dari perspektif ekonomi,
cukup sulit untuk dijelaskan mengapa rupiah bisa terpuruk sedemikian besar.
Kalaupun nilai rupiah sebelumnya dianggap terlalu mahal (overvalued), koreksi
itu terlampau besar. Satu-satunya penjelasan hanyalah: dalam situasi kekacauan
politik, rupiah bisa merosot berapa saja. Ini soal politik!
Kini, situasinya berbeda. Memang ada
kecemasan terhadap kondisi ekonomi global dan nasional, tetapi sejauh ini tidak
terkontaminasi dengan faktor politik. Akibatnya, koreksi kurs rupiah, dari
level Rp 9.200 per dollar AS (sebelum bangkrutnya Lehman Brothers, 15 September
2008) menjadi kini Rp 11.000 per dollar AS, relatif bisa dijelaskan.
Sebelum ini, rupiah sebenarnya sudah
overvalued. Setidaknya ada dua indikasinya.
Pertama, neraca perdagangan (selisih
antara ekspor dan impor) terus melemah. Impor terus meningkat cepat, menjadi
rata-rata 11 miliar dollar AS per bulan. Pada periode Januari-September 2008,
surplus ekspor kita hanya sembilan miliar AS (ekspor 107 miliar dollar AS, dan impor
98 milar dollar AS). Ini kemunduran besar karena surplus ekspor pada 2007 dan
2006 masing-masing 40 miliar dollar AS.
Terlalu kuatnya rupiah (dan
sebaliknya terlalu lemahnya dollar AS) menyebabkan masyarakat kita menjadi
terlalu konsumtif terhadap produk-produk impor. Dalam rupiah, barang-barang
impor menjadi terasa murah. Akibatnya, impor ”meledak”. Untuk menghambat
melonjaknya impor, rupiah perlu dikoreksi, berupa depresiasi.
Kedua, Indonesia ternyata merupakan
salah satu emerging countries yang tidak kebal dalam hal inflasi. Negara
emerging market yang paling tinggi inflasinya adalah Vietnam, dengan 25 persen.
Inflasi Indonesia kini sekitar 12 persen. Padahal, inflasi AS, meski tertekan
berat harga minyak dunia, ”hanya” lima persen (level ini termasuk tinggi untuk
ukuran AS, yang inflasi normalnya dua persen).
Dengan asumsi ceteris paribus
(faktor- faktor lain yang bisa berpengaruh tidak mengalami perubahan), mestinya
rupiah harus didepresiasi, misalnya dengan tujuh persen. Jika sebelumnya kurs
rupiah Rp 9.300 per dollar AS, kurs baru yang wajar sekitar Rp 10.000 per
dollar AS.
Kejadian ini juga menimpa banyak
mata uang lain, khususnya mata uang kuat (hard currencies). Contohnya,
poundsterling yang pernah sedemikian kuat kursnya (hampir dua dollar AS per
sterling) kini terkoreksi menjadi 1,5 dollar AS. Euro yang pernah amat kuat
hingga 1,6 dollar AS per euro juga terkoreksi menjadi 1,25 dollar AS per euro.
Begitu pula dollar Australia, yang kursnya nyaris sama dengan dollar AS, kini
tinggal 0,6 dollar AS per dollar Aussie. Rata-rata berbagai mata uang itu
terdepresiasi sekitar 25 persen.
Semua negara itu, ketika mata
uangnya overvalued (sebaliknya dollar AS undervalued) mengalami masalah dalam
neraca perdagangannya. Inggris, Zona Euro, dan Australia mengalami defisit
perdagangan. Inggris menjadi yang terburuk, dengan defisit 189 miliar dollar
AS.
Berdasarkan analisis ini, secara
alamiah, sekarang ini sedang terjadi proses koreksi, atau mencari ekuilibrium
baru mata uang berbagai negara. Mata uang yang semula overvalued (misalnya
poundsterling, euro, dollar Aussie, dan rupiah) harus terdepresiasi.
Sebaliknya, dollar AS yang semula tertekan dan undervalued kini mengalami
rebound atau terapresiasi. Proses ini akan terus berlangsung hingga suatu saat
menemukan titik keseimbangan baru.
”Blanket guarantee”
Selain faktor koreksi kurs,
depresiasi rupiah juga disebabkan dua hal.
Pertama, euforia pemilihan presiden
AS pada 4 November 2008 telah menimbulkan tumbuhnya harapan-harapan baru
terhadap masa depan perekonomian AS. Untuk sementara, banyak orang memindah
kekayaannya menjadi dollar AS.
Kedua, penjaminan simpanan di bank
hanya sampai Rp 2 miliar per rekening. Menurut data Lembaga Penjaminan
Simpanan, sebanyak 99,02 persen penabung kita rekeningnya di bank senilai di
bawah Rp 2 miliar. Jadi, jika pemerintah menjamin simpanan hingga Rp 2 miliar,
itu berarti melindungi mayoritas nasabah.
Cara pandang ini sepintas tampaknya
sudah benar. Namun, tunggu dulu. Ternyata dari hanya 0,08 persen nasabah
penabung—yang terdiri dari 61.000 rekening (baik institusi maupun
perorangan)—nilai tabungannya mencapai Rp 600 triliun. Jumlah ini amat
signifikan dan amat berpotensi untuk dilarikan ke luar negeri (capital flight).
Terlebih pada saat sekarang, dua
tetangga terdekat sekaligus kompetitor terberat dalam menarik dana asing jangka
pendek, yakni Singapura dan Malaysia, sudah menjamin 100 persen simpanan di
bank (blanket guarantee), hingga tahun 2010. Kendati kita menyadari skema itu
rawan moral hazard (bankir bisa berkurang kehati-hatiannya), tetapi kita tak
bisa menundanya karena kompetitor sudah melakukannya.
Dugaan saya, skema blanket guarantee
akan banyak membantu upaya memperkuat kurs rupiah karena tekanan pull out
(penarikan dana dari bank-bank kita untuk ditempatkan di luar negeri) akan
berkurang. Jika rupiah menguat, misalnya stabil di ekuilibrium baru Rp 10.000
per dollar AS, maka ”operasi” penurunan suku bunga pun bisa mulai dilakukan.
Kita berharap BI rate tahun depan kembali ke
level 8 persen. Inilah momentum yang harus segera diciptakan bersama oleh
pemerintah dan Bank Indonesia sehingga rupiah tidak akan deja vu ke era 1998
0 comments:
Post a Comment